Oleh : Andre Rosiade
Ketua Ayo jadi Pengusaha Sumbar, BPD Hipmi Sumbar
Investasi PT Semen Gresik Group (SMGR), induk usaha PT Semen Padang (PT SP) membangun pabrik Indarung VI di Kota Padang pada awal tahun 2012 belum berjalan mulus. Izin pemanfaatan lahan seluas 412 hektare di Bukit Karangputih yang menyimpan deposit bahan baku semen, belum disetujui Pemko Padang.
Pabrik yang telah direncanakan pembangunannya sejak tahun 2009 lalu dengan investasi senilai Rp3,5 triliun itu, ditargetkan bakal mampu memproduksi 2,5 juta ton semen per tahun. Dibangun dengan pertimbangan keberlanjutan produksi semen, dan memenuhi kebutuhan pasar PT SP yang terus meningkat.
Apabila mempertahankan pabrik dan bahan baku yang ada saat ini, manajemen PT SP memperkirakan perusahaan hanya akan beroperasi enam sampai delapan tahun ke depan. Jika itu terjadi, akan ada 300 ribu orang lebih yang hidup dari pabrik itu secara langsung dan tidak langsung lewat rantai bisnis Semen Padang akan terganggu ekonominya.
Daerah tentu juga akan merasakan dampak ekonomi jika industri terbesar di Sumbar itu berhenti berproduksi. Sebab, selama ini dengan keberadaan PT SP, perputaran uang yang dihasilkan sangat besar, diperkirakan lebih dari Rp 15 triliun, kontribusi pajak dan deviden lebih dari Rp 900 miliar serta program CSR sekitar Rp 17 miliar. Tahun ini dinaikkan CSR menjadi sekitar Rp 23 miliar.
Kapasitas produksi pun bertambah 2,5 juta ton per tahun, perputaran uang bertambah Rp 10 triliun per tahun, pajak deviden kepada negara Rp 300 miliar per tahun, dan tambahan sumbangan CSR (Corporate Social Responsibility/tanggung jawab sosial perusahaan) Rp 10 miliar per tahun.
Pertahankan PT SP
Apabila gagal mendapatkan izin lahan 412 hektare di Lubukkilangan Padang, dalam masterplan-nya SMGR tentu punya beberapa daerah lain yang akan dijadikan tempat pengganti untuk melanjutkan operasional produksi PT SP seperti Aceh, Lampung dan Medan. Artinya, ada peluang investasi pembangunan pabrik baru senilai Rp 3,5 triliun bakal berpindah ke daerah lain. Hal itu tentu tidak kita harapkan, di tengah sulitnya pemerintah daerah menggaet investasi saat ini.
Kita pun tidak ingin dampak ikutannya terjadi; bahan baku semen PT SP di Padang habis, pabriknya tutup, pengangguran bertambah, dan ekonomi daerah menjadi terganggu. Adanya gagasan untuk memberikan lahan 412 hektare ke perusahaan semen lain juga bukan solusi yang bijak. Ide itu muncul mungkin karena tidak memahami nilai historis dan sosiologis PT SP dengan Ranah Minang.
Selain itu, investor semen baru belum tentu pula dengan mudah menyetujui permintaan kontribusi seperti yang telah diberikan PT SP selama ini. Mereka tentu akan belajar dari pengalaman yang dihadapi PT SP. Jadi, sikap yang harus dijaga adalah mempertahankan keberadaan PT SP dan keberlanjutan produksinya di Sumatera Barat.
Soal kontribusi perusahaan yang dinilai masih kecil selama ini terhadap daerah, tentu suatu hal yang wajar diperjuangkan bersama agar ditingkatkan. Ada banyak cara bijak dan masuk akal yang bisa dilakukan, tanpa harus menghambat pemberian izin pemanfaatan lahan 412 hektare. Cara-cara yang tidak melanggar hukum, dan tidak menimbulkan preseden buruk bagi masuknya investasi lainnya ke Sumatera Barat untuk masa yang akan datang.
Sebagai bagian dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sudah ada pintu bagi masyarakat bersama pemerintah daerah untuk memperjuangkan peningkatan kontribusi PT SP bagi APBD Padang dan Provinsi Sumatera Barat. Yakni lewat lobi ke pemegang saham atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), bukan ke direksi atau komisaris PT SP yang tugasnya menjalankan kebijakan yang dihasilkan RUPS SMGR.
Satu dari beberapa opsi yang muncul dan terbuka perluang untuk diwujudkan RUPS adalah permintaan sebagian saham, seperti yang diusulkan gubernur dalam pertemuan dengan komisaris utama dan direktur utama PT SP di Gubernuran 12 Januari lalu, dan pertemuan wali kota dengan sejumlah tokoh masyarakat di Palanta Wali Kota 31 Januari 2012 lalu. Sedangkan opsi lainnya seperti mendirikan perusahaan daerah untuk mengolah bahan baku di lahan 412 hektare, perlu ditinjau ulang. Apalagi, DPRD sebagai representasi masyarakat juga telah menolak usulan penganggaran pembebasan lahan pendirian perusahaan daerah di APBD yang diajukan Pemko Padang.
Langkah tersebut sudah tepat mengingat investasi yang dibutuhkan sangat besar, sedangkan APBD terbatas. Sumber daya yang akan mengelola penambangan bahan baku pun tidak memadai. Lebih baik, Pemko memfokuskan APBD untuk percepatan rekonstruksi pascagempa 30 September 2009, membenahi Pasar Raya Padang seraya mengevaluasi sudah berapa banyak perusahaan daerah yang pengelolaannya sudah baik dan menguntungkan serta mampu berkompetisi.
Di samping itu, mestinya Pemko juga tidak hanya fokus mengajak tokoh masyarakat berembuk untuk membahas investasi yang telah ada di PT SP, tapi bagaimana berupaya menarik investasi lain ke Padang. Tokoh masyarakat dan akademisi diajak mengatasi persoalan pembebasan lahan yang sering jadi kendala berinvestasi dan pembangunan infrastruktur daerah. Agar tidak dianggap gagal menggaet investasi lain, lalu baru berjuang di PT SP. Apalagi selama ini sudah banyak investor dari luar negeri yang datang, belum tampak ada yang terealisasi. Untuk itu, mari kita bangun dan jaga iklim investasi yang kondusif di Kota Padang. Semoga. (*)
No comments:
Post a Comment