Sumatera Fam Trip Kinabalu, Sabah Malaysia (3/Habis)
Usai berkunjung ke Manukan Island Resort, rombongan Sumatera Fam Trip beranjak masuk ke pedalaman hutan terpencil Sabah. Bagaimana bentuk museum hidup warisan budaya yang mendatangkan devisa, dan menyerap cukup banyak tenaga kerja ini?
Setelah menempuh perjalanan sekitar 25 menit menumpangi bus dari Kota Kinabalu, rombongan tiba di sebuah desa yang berada di dalam kawasan pedalaman Borneo. Di desa ini hidup lima suku etnis Sabah, yakni Kadazan Dusun, Bajau, Lundayeh, Murut, dan Rungus.
Sebelum menjejal desa itu, rombongan Sumatera Fam Trip dibagi dua kelompok dan diberikan arahan terlebih dahulu oleh pemandu perjalanan, Lidya di pintu masuk desa. Tiap kelompok dipimpin seorang ketua. Sang ketua mendapat tugas meminta izin kepada kepala suku agar diperbolehkan masuk, dan menyusuri desa.
“Masuk wajib minta izin dulu kepada kepala suku. Dilarang merokok karena bisa mengganggu kelestarian hutan. Juga tidak boleh membuang sampah sembarangan, dan dilarang memindahkan benda-benda milik suku yang ada di dalam,” pinta Lidya.
Setelah diberikan arahan, rombongan masuk ke desa dengan melintasi sebuah jembatan gantung yang membentang di atas sebuah sungai. Awal masuk desa ini, kita dihadapkan pada sebuah rumah tradisional suku Kadazan Dusun, etnis terbesar di Sabah.
Rombongan dibawa melihat serta diberikan penjelasan sejarah dan kegunaan, benda-benda yang ada di dalam rumah dan kamar berdinding dan berlantai bambu itu. Seperti gelas untuk minum sehari-hari terbuat bambu, dan kamar perempuan yang ditempatkan lebih tinggi dari kamar lainnya.
Ke luar dari rumah berjenjang itu, kita menemui dua perempuan berpakaian adat suku Kadazan Dusun tengah meniup api dengan suluh untuk memasak makanan. Makanan tradisional mereka dimasak di dalam tabung bambu, seperti membuat lamang.
Di sebelahnya, terdapat pondok kecil tempat dua pria sibuk mengolah minuman anggur tradisional dari nasi yang dicampur dengan tapai . Tidak jauh dari sana, seorang pria lagi terlihat sibuk memberi makan induk dan anak ayam.
Sekitar 10 meter berjalan kaki dari tempat itu, seorang pria tampak lagi asyik menumbuk kayu yang akan diolahnya menjadi baju. Beberapa meter sebelum memasuki halaman rumah tradisional milik suku Lundayeh, suku yang banyak tinggal di daerah perbatasan Sabah, dengan Serawak dan Kalimantan. Di dalam rumah suku itu, terdapat replika sebuah tengkorak kepala manusia yang digantung pada kasau rumah. Dipercaya mereka sebagai penangkal masuknya roh jahat.
Seraya menikmati keindahan alam yang masih “perawan”, ditingkahi suara burung yang saling bersahutan, rombongan terus berjalan menyusuri desa yang memiliki luas tujuh hektare ini. Kemudian beranjak ke rumah panjang milik Suku Murut yang di masa lalu dikenal sebagai suku pemburu kepala. Menurut kepercayaan mereka, jika pria dari suku Murut akan menikah, maka minimal harus menyediakan satu kepala untuk keluarga gadis yang dinikahinya.
Di ujung desa, kita diarahkan ke sebuah panggung di bawah tenda besar. Di atasnya tampak beberapa orang memainkan alat musik etnis tradisional Sabah. Di depannya berbaris puluhan kursi tempat duduk pengunjung yang menikmati atraksi kesenian yang ditampilkan suku Kadazan dan Murut. Salah satunya adalah tarian bambu, yang dibawakan orang-orang berpakaian mirip Suku Dayak, Kalimantan.
Mengemas Warisan Budaya
Desa ini merupakan salah satu destinasi wisata warisan budaya lokal Sabah yang diberi nama Mari Mari Cultural Village. “Mari Mari artinya, yuk,” kata Suhaimi Abu Hassan, Direktur Tourism Malaysia untuk wilayah Sumatera.
Tempat ini di Sumatera Barat, sedikit punya kemiripan dengan kawasan Minangkabau Village di Kota Padangpanjang. Tapi tentu kemasannya sangat jauh berbeda.
Kawasan yang dikembangkan sebuah perusahaan pariwisata di Malaysia dengan jumlah karyawan lebih dari 15 orang ini, dibuat menjadi sebuah desa, yang tempat tinggal dan aktivitas orang di dalamnya menggambarkan kehidupan asli lima suku etnis Sabah di masa lampau.
Di dalam hutan yang masih terjaga flora dan faunanya ini, tergambar bagaimana budaya dan kehidupan sosial sehari-hari semua suku di Sabah. Pengunjung diperbolehkan mempraktikkan langsung bagaimana memasak makanan dengan buluh, kue sumpit dan memanah serta ikut menari khas kesenian setempat.
Lidya mengatakan, untuk masuk ke objek wisata yang dikembangkan sejak dua tahun lalu ini, wisatawan harus membayar RM150 per orang (sekitar Rp435 ribu), sudah termasuk makan siang. “Masuk ke sini lewat travel agent, minimal dua orang sekali jalan. Bagi yang ingin menginap, tersedia penginapan dengan biaya semalam RM40 (Rp116 ribu),” jelas Lidya.(*) /span>
No comments:
Post a Comment