Pengamat Sebut Perbankan Peras Pengusaha
Iklim usaha tahun depan diperkirakan sangat cerah. Namun sayang, masih ada ganjalan serius yang menghadang laju pengusaha untuk berkembang. Yaitu, tingginya bunga kredit bank.
Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Didik J Rachbini mengatakan, kendati Indonesia mengantongi investment grade, tetapi permasalahan suku bunga yang menjadi batu sandungan dunia usaha.
“Perbankan memeras pengusaha. Coba saja ditukar posisinya. Gubernur BI jadi Ketua Umum Kadin dan Ketua Umum Kadin jadi Gubernur BI. Biar mereka bisa merasakan hambatan dunia usaha,” terangnya.
Pernyataan Didik ini sejalan dengan harapan Ketua Umum Kadin Suryo Bambang Sulisto. Menurut SBS, sapaan Bambang, optimisme tersebut bisa terealisasi asalkan ada keberpihakan kebijakan pemerintah. Misalnya, menurunkan bunga kredit yang sebelumnya 14 persen menjadi single digit.
“2012 merupakan tahun yang penuh dengan iklim menguntungkan. Namun masih ada masalah internal berupa kebijakan fiskal. Saya harap suku bunga bisa turun menjadi 8 persen atau di bawah itu,” pinta SBS di acara Catatan Akhir Tahun Menyongsong 2012 di Jakarta, Rabu (28/12).
SBS menuturkan, tingginya tingkat suku bunga menjadi faktor utama lemahnya daya saing industri nasional. Suku bunga Indonesia kalah kompetitif dengan Malaysia yang hanya 3 persen dan Filipina 4 persen.
“Kebijakan suku bunga Bank Indonesia masih sangat konservatif, kaku, sehingga tidak bisa mengikuti perkembangan suku bunga regional dan global yang sudah turun drastis,” kritiknya.
Menanggapi keluhan bos Kadin, Kepala Biro Humas BI Difi Johansyah mengaku sudah mengimbau perbankan nasional untuk mencantumkan penurunan tingkat suku bunga pinjaman pada Rencana Bisnis Bank (RBB). Namun untuk mencapai penurunan hingga 8 persen, tergantung kondisi masing-masing bank.
“Perbankan yang sudah efisien mungkin siap ke arah sana (suku bunga jadi 8 persen). Pengusaha sebaiknya pindah saja ke bank yang lebih efisien daripada bertahan di bank yang bunganya tinggi,” saran Difi saat dihubungi Rakyat Merdeka, kemarin.
SBS menyatakan, faktor kebijakan suku bunga yang tinggi mengakibatkan dunia usaha, khususnya usaha kecil menengah (UKM) belum bisa menikmati perbaikan kondisi eksternal pasar keuangan yang baik saat ini.
“Intinya, kami berharap kebijakan fiskal dan moneter bisa lebih baik. Hal itu penting supaya dunia usaha terangsang dan turut menopang pertumbuhan perekonomian nasional,” harapnya.
Pengamat ekonomi Aviliani mengatakan, pihak bank dalam memberikan pinjaman memiliki beberapa pertimbangan. Salah satunya adalah tentang profil risiko bisnis.
Menurut Aviliani, hingga saat ini pemerintah belum mempunyai profil risiko bisnis untuk masing-masing bidang usaha. Hal itu membuat pihak bank harus membuat sendiri profil risiko bisnis tersebut.
“Tidak bisa dipukul rata untuk semua jenis usaha. Pinjaman bank biasanya tergantung dari profil risiko bisnisnya. Seperti misalnya semakin kecil risiko bisnisnya, bank akan berlomba-lomba memberikan kredit,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Terkait predikat investment grade yang diraih Indonesia, Aviliani mengatakan, pengusaha Indonesia bisa memanfaatkannya dengan aktif di pasar modal. Ia juga menyarankan perusahaan-perusahaan segera go public.
“Daripada terlalu meributkan suku bunga kredit bank, lebih baik para pengusaha mencari cara lain untuk investasi, seperti menerbitkan obligasi dan lainnya. Apalagi ditambah status investment grade saat ini,” ujar Komisaris Independen BRI itu.
Ketua Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono mengatakan, perbankan telah menurunkan bunga kredit hingga saat ini paling rendah di level 8 persen.
Kalau kita lihat secara overall, kata Sigit, bank memberikan kredit yang predikatnya bagus sudah 8-9 persen. “Tapi tidak bisa seluruhnya seperti itu karena memperhitungkan risiko juga,” cetus Sigit.
Sumber: Rakyat Merdeka
No comments:
Post a Comment