Wawancara & Analisis
EKSKLUSIF
Menneg BUMN Dahlan Iskan
Senin pagi, 14 November 2011, pk. 07.50 WIB. Sebuah sedan Mercedes Benz hitam berpelat nomor L 1 JP merapat ke pelataran lobi Menara Standard Chartered, Jakarta, di mana VIVAnews berkantor.
Pintu sopir terbuka.
Dari baliknya keluar sesosok laki-laki yang tampak seperti orang biasa—mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung, pantalon hitam yang sedikit kegombrangan, dan sepatu kets hitam.
Dia bukan sopir. Dia adalah Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang baru diangkat Presiden, Dahlan Iskan. Tiga penumpang yang disopirinya, adalah para staf anak buahnya di Kementerian.
Di lift menuju kantor VIVAnews, Dahlan mendadak keluar begitu ia mendengar di gedung ini juga berkantor salah satu anak perusahaan Pertamina. Sempat dicegat petugas satpam yang bahkan tak mengenalinya sebagai menteri, pria kelahiran Magetan, 17 Agustus 1951 ini, melakukan “sidak” ke ruang-ruang kantor di situ.
“Tidak, tidak ada masalah apa-apa, kok. Saya cuma mampir sebentar,” katanya kepada sejumlah karyawan Pertamina yang gelagapan.
Dahlan memang petinggi Republik yang unik. Di kabinet sekarang, barangkali dialah salah satu pejabat yang paling santer dibicarakan publik—dengan nada positif. Dua tahun memimpin PT Perusahaan Listrik Negara, wartawan senior ini dinilai sukses menerapkan sejumlah gebrakan dan langkah terobosan.
Berikut petikan perbincangan Dahlan, mantan CEO Jawa Pos Group, dengan redaksi VIVAnews.com, yang dipenuhi gelak tawa dan guyon khasnya itu:
Begini, pertama kan Menteri Negara BUMN saat itu, Mustafa Abubakar, sakit. Karena Beliau sakit, rupanya Pak SBY mencari siapa penggantinya. Periode kabinet masih tiga tahun, kan nggak mungkin ad interim. Ketika mencari pengganti, dipilih-pilih, didapatlah saya.
Sebenarnya prestasi Pak Mustafa cukup bagus. Saya saksinya. Sebagai Direktur Utama PLN, saya merasa happy di bawah Pak Mustafa. Pak Mustafa tidak banyak intervensi, termasuk bersih, dan tidak memanfaatkan PLN untuk kepentingannya sendiri.
Saya orangnya husnuzon (berbaik sangka). Artinya begini, jika saya menjadi Pak SBY, saya akan mencari orang non partai untuk menangani BUMN. Jika Pak SBY memutuskan Menteri BUMN dipegang oleh orang Partai Demokrat, tentu Pak SBY jadi bulan-bulanan--dituduh akan dijadikan kas untuk 2014. Untuk yang non partai saja ada anggapan begitu, apalagi yang dari partai.
Saya kira ini suatu kewajaran. Saya kan orang non partai. Pak SBY akan memilih orang non partai untuk Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan. Saya kira, setiap orang yang memiliki sensitivitas tentu akan melakukan langkah itu.
Kalau boleh memilih, saya pilih di PLN. Pak SBY tahu saya di PLN belum selesai. Tapi, Pak SBY rupanya berkepentingan ada orang non partai yang punya pengalaman di BUMN. Di PLN saya sekolah banyak banget tentang memahami BUMN. Saya ini dianggap orang yang tahu BUMN, tapi belum terkontaminasi oleh BUMN, sehingga dianggap Beliau cocok.
Apa reaksi Anda pertama kali ketika Presiden mengangkat Anda sebagai menteri?
Yang terucap adalah saya bilang ke Beliau (SBY), “Pak, saya ini nangis kalau ditunjuk jadi Menteri BUMN. Saya pilih di PLN. Biarlah saya mengawal program-program PLN sampai selesai, satu tahun lagi. Saya ingin mengawal sendiri program-program yang begitu besar di PLN.”
Beliau bilang, kan PLN masih di bawah BUMN. BUMN ini asetnya Rp2.500 triliun, tapi hasilnya kok begitu kecil. Presiden juga kelihatan merasa terhina kalau BUMN Indonesia kalah bersaing dengan negara tetangga, terutama Malaysia. Sehingga, SBY mencari orang yang Beliau anggap bisa membawa BUMN maju.
Tapi ini belum tentu, kan? Saya kan belum tentu bisa… hehehe.
Kemudian, dia bilang begini, “Saya percaya Pak Dahlan bisa. Di mata saya, Pak Dahlan itu man of idea dan man of action.” Itu yang Beliau ucapkan. Jadi, Beliau rupanya memerlukan orang yang idenya banyak dan berani melangkah, berani action. Ketika mengangkat saya menjadi Dirut PLN, kata-kata itu juga yang Beliau ucapkan. Berarti kan Beliau sudah tahu sebelum di PLN, saya di mata Beliau seperti itu.
Bahkan, ketika ditunjuk jadi Dirut PLN, saya terang-terangan lagi, “Pak, saya orang sakit, saya bukan insinyur listrik, tidak mengerti listrik.”
Tapi, waktu itu Beliau bilang begini, “Saya tahu semua itu, Pak Dahlan. Tetapi, saya perlu leadership dan manajemen dari Pak Dahlan.”
Beliau tahu saya tidak ahli di bidang tertentu, tidak ahli di bidang engineering. Tapi memang yang diperlukan Beliau bukan keahlian di bidang itu, tetapi leadership dan manajemen. Saya kira di Kementerian BUMN juga masih diperlukan leadership dan manajemen--bukan keahlian saya di bidang keuangan, telekomunikasi, perikanan, atau perkebunan. Meski Kementerian BUMN membawahi bidang-bidang itu, tapi muaranya kan pada leadership dan manajemen.
Anda lama menjadi wartawan dan pengusaha media, tiba-tiba diangkat jadi Dirut PLN, lalu Menteri Negara BUMN. Kenapa Anda mau?
Awalnya saya tidak mau dengan alasan sakit.
Siapa yang mengusulkan nama Anda?
Saya tidak tahu. Tapi begini, ketika saya sakit begitu parah, sehingga dua tahun berada di luar negeri, mondar-mandir ke China, praktis saya tidak bisa mengurus perusahaan. Kemudian, perusahaan diurus anak saya, yang laki-laki, Azrul Ananda. Saya amati, saya tinggal kok perusahaan berjalan baik. Setelah dua tahun saya sembuh, perusahaan kok lebih baik dibandingkan waktu saya sakit.
Common sense saya mengatakan untuk apa saya balik lagi ke perusahaan? Pertama, berarti saya akan mengecewakan generasi baru yang ternyata mampu. Dan kedua, kalau saya balik, saya merusak kultur yang dia bangun selama dua tahun.
Saya menganggur. Kemudian saya bertekad bergerak di bidang pendidikan. Saya mendirikan madrasah internasional di desa. Saya ingin madrasah internasional ini berkembang karena keluarga saya sebelumnya sudah punya 120 madrasah tradisional dan kondisinya jelek. Sebelumnya saya tidak pernah mengurusi madrasah keluarga karena sibuk di perusahaan.
Ketika saya menganggur, saya mencoba mengurusi madrasah keluarga dengan cara melakukan pembaruan dengan mendirikan satu madrasah internasional. Nanti, kalau sudah jadi, saya akan copy ke 120 madrasah lainnya. Praktis saya mencurahkan diri ke sana sambil menulis buku.
Mungkin Pak SBY tahu saya lagi nganggur. Seandainya saya kelihatan aktif di Jawa Pos, saya pasti tidak diminta. Tapi, ketika Beliau lihat saya menganggur, mungkin Beliau berpikir, “Nah, ini ada orang yang menganggur, saya kasih pekerjaan saja”… hehehe.
Anda sudah lama kenal SBY?
Sudah lama sekali, tapi tidak intensif, sekadar sebagai wartawan. Misalnya ketika saya di Jawa Pos, ikut kunjungan Beliau keluar negeri. Kemudian Beliau pernah berkunjung ke Jawa Pos, ke koran-koran anak perusahaan Jawa Pos, seperti ke harian Fajar di Makassar. Ya begitulah, kenal dalam pengertian saya sebagai wartawan atau pemimpin redaksi, saya sebagai Ketua Serikat Penerbit Suratkabar (SPS).
Kenal mendalam tidak, kenal pribadi non formal tidak pernah. Beliau kenal saya karena reputasi saya membesarkan media. Mungkin Beliau mencatat karakter dan integritas saya. Tapi, kenal pribadi dalam artian persahabatan, tidak.
Anda dinilai berhasil memimpin PLN dan menerapkan good governance di perusahaan yang dikenal sangat korup. Apa kuncinya?
Di PLN saya agak berbeda karena mendapat keistemewaaan. Ketika diangkat menjadi Dirut PLN, saya mengajukan syarat. Saya harus diperbolehkan menunjuk direktur-direktur PLN atas pertimbangan saya sendiri, sehingga direktur diangkat tidak atas rekomendasi pejabat ini dan itu. Saya pilih sendiri siapa saja yang jadi direktur PLN, dan saya bertekad untuk tidak membawa satu pun orang luar.
Saya sangat percaya bahwa di semua organisasi, termasuk di BUMN, sebetulnya yang betul-betul tidak baik itu cuma 10 persen. Tapi, yang betul-betul baik juga hanya 10 persen. Sisanya, yang 80 persen itu ikut-ikutan saja. Kalau mendapat pemimpin dari kelompok 10 persen yang tidak baik itu, sikap yang 80 persen itu akan begini, "Ya, zamannya memang lagi begini, kita ikut saja, deh. Yang penting karier saya tidak terganggu, gaji saya utuh."
Tapi, kalau yang memimpin adalah dari kelompok 10 persen yang bagus tadi, maka sikap mereka jadi begini, "Ya, begitu dong jadi pemimpin, jadi kita semangat, bisa maju perusahaan."
Karena saya percaya di PLN ada 10 persen orang yang sangat baik, maka saya pilih direktur dari kelompok tadi. Dengan demikian, maka integritas direktur PLN baik dan yang 80 persen akan ikut.
Dari program-program good governance yang Anda terapkan, berapa uang yang berhasil dihemat?
Dalam hal uang, dari tahun pertama pengadaan strategis saja kami berhasil menghemat Rp2,4 triliun. Bisa bikin VIVAnews berapa banyak, tuh... hehehe.
Angka itu dari mana?
Pengadaan strategis itu begini. Dulu, gardu induk itu ditenderkan begitu saja. Padahal, di dalam gardu induk ada unsur trafo dan macam-macam lainnya. Akhirnya, yang jadi pemenang tender selalu pedagang, arranger. Bisa saja pedagang minta ke rekanannya pabrik trafo agar jangan mengaku harga trafo murah, karena nanti harga bisa rusak. Pabrik trafo kan tergantung kepada pemenang tender.
Sistem itu kami ubah. Tender tidak boleh begitu lagi. Leader sebuah proyek harus pabrikan langsung. Yang lain harus ikut pabrikan itu. Hasilnya, tender gardu induk harganya jadi murah sekali. Sebagai contoh, trafo IBT 500 KV dulu harganya Rp120 miliar, sekarang hanya Rp40 miliar. Ini karena sistem tender yang diubah.
Di PLN banyak proyek besar yang jadi rebutan kelompok penguasa. Di masa Anda bagaimana?
Tender bebas.
Anda pasti pernah ditelepon orang ini dan itu...
Saya tidak peduli. Yang membahagiakan saya di PLN adalah: telepon-telepon semacam itu ada, yang mengajak makan siang ada, mengajak ketemu ada, dan semua saya layani. Saya bukan tipe orang yang nggak mau diajak makan siang. Kalau makan siang, ya makan siang. Ditelepon saya terima. Tapi, di situ saya tidak tergoyahkan sama sekali. Semua harus mengikuti prosedur. Saya happy di PLN bisa seperti itu.
Apa pencapaian terpenting Anda selama memimpin PLN?
Krisis listrik teratasi. Krisis listrik beda dengan mati lampu, lho. Krisis listrik itu kekurangan listrik di Indonesia. Itu saya happy, dalam waktu enam bulan semua bisa teratasi. Yang bikin happy lagi karena PLN ternyata mampu mengatasinya, bukan karena saya.
Dengan mengatasi krisis listrik dalam enam bulan itu, confidence orang PLN naik luar biasa. Berarti, PLN mampu mengatasi hal-hal lain yang sama besar atau lebih besar. Krisis listrik itu membuat karyawan PLN sempat tidak berani menggunakan seragam PLN, didemo di mana-mana. Bahkan, ada Kepala Cabang PLN yang dijemur oleh masyarakat di Tanjung
Pinang. Orang mungkin menyangka kalau kepala cabangnya dijemur, listriknya bakal keluar … hehehe. Padahal, mau dijemur dua bulan pun kan listriknya nggak akan keluar-keluar.
Kemudian, PLN bisa menghabiskan daftar tunggu pemasangan listrik dari 2,5 juta orang. Mereka sudah mengantre 3 tahun, 5 tahun, bahkan 7 tahun nggak dapat listrik. Saat itu, semua dapat.
Tapi, pencapaian yang terbesar adalah saat saya bisa membentuk tim yang saya sebut "The Dream Team" di PLN. Titik beratnya adalah integritas dan antusiasme. Orang PLN itu pintar-pintar, kok.
Dulu pemadaman listrik terjadi berkali-kali, sekarang hampir tidak pernah. Apa yang dilakukan PLN?
Banyak sekali pertanyaan seperti itu. Tidak ada pemerintah drop uang, kok bisa? Ini belum pernah saya ungkapkan dari mana PLN dapat uang untuk membiayainya.
Jadi begini, ada satu proyek, sudah ditenderkan, nilainya Rp15 triliun. PLN harus menyediakan uang Rp1,5 triliun. Pemenangnya sudah ditentukan. Kebetulan, tendernya bermasalah. Proyek itu di Muara Tawar. Seandainya diteruskan akan selesai 2013.
Menurut hitungan saya, pada 2013 itu akan ada banyak sekali pembangkit listrik yang jadi. Untuk apa membangun lagi? Lalu, proyek saya batalkan. Dengan pembatalan itu, PLN akan menghemat Rp15 triliun dan dalam bentuk cash Rp1,5 triliun. Uang itu yang saya pakai untuk memperbaharui sistem distribusi trafo.
Jakarta itu sekarang kuat sekali. Seandainya terjadi seperti kebakaran gardu induk, seperti di Cawang, Jakarta Timur beberapa tahun lalu, takkan ada pemadaman karena sudah di-backup oleh Bekasi, Gandul, Kembangan, dan lain-lain. Dulu tidak ada backup sama sekali, apalagi di luar Jakarta.
Lalu, saya benahi pengadaan trafo distribusi, yaitu trafo yang ada di pinggir-pinggir jalan yang melayani 200 rumah. Di tahun pertama saya beli 10 ribu trafo. Tahun kedua 15 ribu dan tahun depan 15 ribu lagi.
Dulu, banyak trafo yang saya sebut “trafo menangis”, yang sudah meleleh, tanda hampir mati, dan lama tidak pernah diganti. Juga ada “trafo hamil”, karena sudah melengkung. Itu tanda-tanda mau meledak, juga tidak diganti. Sekarang saya bilang, masih “hamil muda” trafo sudah harus diganti, sudah mulai menitikkan air mata harus diganti. Cabang-cabang harus punya stok trafo baru, sehingga tidak harus meledak dulu baru diganti.
Akibatnya apa? Tidak ada pemadaman. Karena kalau meledak baru diganti, apalagi tidak ada trafo pengganti, pemadaman bisa berlangsung lama. Pemadaman yang di tiap kota biasanya terjadi 100 kali, sekarang tinggal 5 kali.
Resep keberhasilan Anda membangun PLN sekarang akan diterapkan juga di BUMN lain?
Tidak semua BUMN bisa menggunakan satu resep. Akan beda-beda resepnya. Misalnya, perkebunan, tidak bisa begitu. Perkebunan itu, 60 persen biayanya untuk membeli pupuk. Nanti akan kami lihat bagaimana cara membeli pupuknya, kemudian cara penggunaannya. Kiat tidak hanya satu, tapi ada seribu kiat.
Salah satu terobosan yang akan diterapkan di BUMN nanti seperti apa?
Begini, ada galangan kapal IKI (PT Industri Kapal Indonesia) yang sudah dua tahun tidak bisa menggaji karyawan dan direksinya. Saya ke sana. Mental manajemennya sudah mental menunggu pertolongan dari luar, terutama minta uang dari PPA (PT Perusahaan Pengelola Aset).
Tanpa uang itu, menurut manajemen perusahaan tidak bisa beroperasi. Karena itu, manajemen hanya berharap-harap, uang kok nggak turun-turun. Sepertinya itu uang dia, sehingga menyalah-nyalahkan PPA.
Saya datang ke sana, melihat sendiri, memang parah sekali. Dripping dock sudah rusak, pintu air sudah bocor semua, dan pompa airnya sudah tidak bisa memompa. Memompa air dari dripping dock perlu waktu satu minggu, padahal seharusnya cuma empat jam, sehingga kapal yang mau diperbaiki tidak selesai-selesai. Dermaga sudah hancur, slipway rusak tidak bisa dipakai. Tanpa perbaikan, ini semua tidak bisa jalan. Biaya yang dibutuhkan Rp90 miliar, ya itu tadi, menunggu-nunggu uang dari PPA.
Saya lihat, di sana pasarnya besar. Di Indonesia ada 6 ribu kapal, dan ada peraturan setiap beberapa bulan sekali harus diperbaiki.
Jadi, pasarnya ada. Yang sulit itu buat perusahaan kan kalau pasarnya tidak ada. Kalau pasarnya ada, apa saja bisa jalan. Tapi, karena mental manajemen sudah terlanjur berharap-harap, mereka sudah tidak kreatif lagi. Saya lalu malah datang ke PPA dan minta agar mereka sama sekali tidak kasih uang ke BUMN itu, karena itu akan membuat BUMN menjadi manja saja.
Bagaimana solusi Anda?
Saya bilang pintu air bisa diperbaiki, misalnya bekerja sama dengan PT Hutama Karya, yang biasa membuat bendungan. Nanti pembayarannya bulanan, kan sesama BUMN. Tidak akan merugikan, pembayaran mahal sedikit tidak apa-apa. Lalu, pompanya bisa minta ke supplier pompa, pembayarannya juga bulanan. Perbaikan dermaga bisa minta dikerjakan Adhi Karya atau siapa, agak mahal sedikit tidak apa-apa, pembayarannya sama, bulanan.
BUMN yang seperti ini banyak banget, seperti Iglas, Kertas Leces, dan perusahaan perikanan. Mereka harus disiplin, sampai kelak situasi berubah. Mereka selalu beranggapan, tanpa uang tidak bisa jalan. Kan rusak mental manajemen seperti itu. Nanti kami perbaiki dari sini.
Untuk merestrukturisasi PT Leces apa solusi Anda? Bukannya ini BUMN yang pernah besar dan cukup mendominasi pasar kertas?
Pasar kertas tidak akan sebesar dulu. Di sana sedang membangun boilerbekerja sama dengan PT Waskita Karya. Ini tidak pakai uang, karena uangnya dari Waskita Karya. Boiler ini menghasilkan steam 240 ton. Dulu rencananya steam ini untuk menjalankan seluruh mesin. Ada lima mesin di sana. Karena steam paling banyak dipakai buat memanasi mesin, maka steam untuk membangkitkan listrik tidak cukup--hanya bisa membangkitkan paling banyak 25 MW. Listrik 25 MW ini tidak cukup menghidupkan mesin-mesin itu.
Jadi, dari mesin steam 240 ton itu separuh untuk memanasi pabrik kertas, separuh untuk membangkitkan listrik yang digunakan untuk menjalankan mesin. Tapi, belum tentu kertas yang dihasilkan terjual semua dan belum tentu ada margin. Sumber kesulitan Leces adalah pasar.
Saya malam Idul Adha kemarin tidur di pabrik kertas. Karena saya harus Lebaran dengan keluarga, keluarga saya ajak ke sana. Jadi, kerjanya dapat, Lebaran dengan keluarga juga dapat. Setelah saya lihat marketing-nya, saya sarankan tidak boleh lagi memproduksi semua jenis kertas. Saya minta mereka memilih dua saja yang yakin pasarnya bagus. Akhirnya, satu mereka pilih kertas tisu untuk ekspor ke Amerika, dan kedua memproduksi kertas security printing yang persaingannya masih relatif kecil. Tak boleh memproduksi selain itu. Harus fokus.
Karena hanya memproduksi dua tipe kertas, maka steam yang digunakan juga tidak banyak. Cuma 10 ton. Listrik yang digunakan juga tidak banyak, mungkin cuma 10 MW. Sehingga mereka masih punya kelebihan steam-- karena dari kapasitas semula 240 ton, yang terpakai 10 ton.
Nah, steam sisa ini bisa memutar turbin hingga 60 MW. Mereka punya turbin. Daripada steam-nya menganggur, maka lebih lebih baik untuk memutar turbin. Katakanlah paling kecil 50 MW. Yang dipakai oleh pabriknya sendiri sekitar 10 MW. Masih ada 40 mega, saya minta mereka jual ke PLN. Jadi, Leces tak hanya jualan kertas, tapi juga listrik. Kalau dia jual 40 MW ke PLN, paling tidak bisa menghasilkan uang Rp100 miliar.
Kemudian, bahan bakunya kelebihan juga. Jual barang baku itu. Saya tanya: laku tidak? Laku, bisa dapat Rp100 miliar. Jual saja, daripada bahan baku diproduksi gak laku atau malah marginnya tidak ada, mending jual saja bahan baku itu.
Jadi, nanti dari listrik dapat Rp100 miliar, bahan baku Rp100 miliar, jualan tisu Rp100 miliar, dan jualan kertas sekuriti Rp50-60 miliar. Sudah, itu solusinya. Harus disiplin.
Apa sikap Anda soal kepemilikan asing di BUMN telekomunikasi?
Itu sudah terjadi. Ada baiknya, ada tidak baiknya. Baiknya kita jadi sangat familiar dan welcome terhadap dunia internasional. Kurang baiknya, kita menyesal saja. Ternyata, perusahaan ini bagus banget, tapi kok ya dijual. Tetapi, kita kan nggak boleh menyesal terus, tidak habis-habisnya sampai masuk rumah sakit jiwa... hahaha.
Ada kemungkinan buyback saham?
Terserah manajemennya. Saya serahkan kepada kebijakan korporasi perusahaan tersebut. Nanti, banyak hal akan kami serahkan kepada manajemen BUMN yang bersangkutan untuk melakukan aksi korporasi, termasuk soal Serikat Pekerja.
Kemarin, saat demo di Telkom, saya instruksikan kepada seluruh jajaran Kementerian BUMN untuk tidak ikut turun tangan. Serahkan sepenuhnya kepada manajemen Telkom. Kami tidak boleh memanggil manajemen, jangan menegur, jangan bertanya. Karena kalau itu dilakukan, nanti Serikat Pekerja akan merasa persoalan telah diambil alih. Padahal, belum tentu kami mampu mengambil alih dan belum tentu mengetahui persoalan mikronya. Yang tahu persoalan mikronya adalah manajemen setempat.
Sewaktu di PLN Anda rutin menulis catatan untuk karyawan, akan diteruskan sekarang di Kementerian BUMN?
Waktu di PLN saya menulis dua-tiga kali sebulan, sehingga ide-ide saya bisa diikuti oleh seluruh karyawan—ada 100 ribu, termasuk yang outsourcing. Misalnya, ketika saya pergi ke Halmahera, dengan membaca tulisan saya, mereka tahu apa yang saya pikirkan, yang saya kerjakan, semuanya mengikuti karena ditaruh di website PLN. Kemudian, beberapa koran mengambil itu, dikutip, silakan. Saya anggap itu komunikasi yang efektif dengan karyawan yang begitu besar. Berkomunikasi dengan 500 karyawan mungkin gampang, tapi kalau 100 ribu dan tersebar di seluruh Indonesia itu susah. Saya menulis karena itu.
Sekarang, setelah saya jadi Menteri BUMN, saya lagi mikir-mikir apakah akan menulis atau tidak. Saya akan putuskan dalam 1-2 minggu ini. Saya ingin sebagai menteri, seluruh karyawan BUMN tahu. Karyawan BUMN itu banyak sekali. PLN saja 100 ribu karyawan, Telkom 20 ribu, Kereta Api 18 ribu, belum lagi perkebunan. Saya perlu media komunikasi.
Sebetulnya, kenapa Anda selalu mengenakan sepatu kets?
Banyak yang bilang, "Pak Dahlan itu sederhana, ya." Lho, padahal sepatu kets ini mahal, lho... hahaha. Ya, ini pertama karena dulu kelamaan di media. Orang media itu kan cuek. Itu sudah kebiasaan saja. Yang saya khawatirkan adalah kalau tiba-tiba saya pakai jas, sepatu mengkilat... hehehe. Kan Pak SBY berpesan supaya menteri baru berlari kencang. Jadi, saya pakai sepatu kets dalam rangka supaya bisa berlari kencang itu ... hehehe. (kd)
Sumber: VIVAnews.com
No comments:
Post a Comment